6 Tuntutan Reformasi 1998
Haii kali ini admin akan memberikan penjelasan tentang 6 tuntutan reformasi 1998 . Kita tau reformasi yang melibatkan mahasiswa ini menuntut 6 tuntutan reformasi 1998 . Apa sajakah 6 tuntutan reformasi ini ? Baca artikel di bawah ini .
1. PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM
Salah satu agenda yang diusung oleh
gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa adalah tuntutan adanya penegakan
supremasi hukum.Pada masa orde baru hukum
hanya menjadi instrumen bagi penguasa untuk melanggengkan dan melegitimasi
kekuasaan serta melindungi birokrasi dan eksekutif yang sangat korup. Ketika
itu lembaga-lembaga penegak hukum telah dikebiri dan sepenuhnya dibawah kontrol
kekuasaan eksekutif sehingga mereka tidak memiliki kemerdekaan dan
independensi, serta tak lepas dari intervensi elit penguasa.
Secara umum belum terlihat adanya perubahan yang cukup signifikan ke arah
penegakan supremasi hukum.
Pelaku KKN masih banyak yang tidak dapat dijerat hukum sehingga menimbulkan
rasa ketidakadilan. Fungsi prevensi umum (deterence) dan prevensi khusus
melalui penerapan kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi nihil, bahkan
perilaku KKN ditengara makin meningkat. Jika di masa Orde Baru perilaku KKN
hanya merupakan bentuk “perselingkuhan” antara Eksekutif dan Judikatif, kini
tengah berkembang menjadi bentuk “cinta segi tiga” antara Eksekutif, Judikatif
dan Legislatif.
Kondisi itu sangat mungkin karena reformasi hukum yang telah dilakukan
selama ini agaknya masih terbatas pada reformasi di bidang substansi hukum
yaitu dengan hanya memperbaharui berbagai UU baru. Pada hal pembentukan UU baru
tidak serta merta akan menciptakan penegakan hukum yang baik. Undang-undang
yang baik belum tentu menjelma dalam bentuk penegakan hukum yang baik tanpa ada
penegak/pelaksana hukum yang baik. Menurut Blumberg (1970 : 5) , the rule of
law is not executing. It is tralated in to reality by man in institution. Dan
pembuatan peraturan perundangan tidak otomatis menciptakan kepastian hukum
kecuali hanya kepastian undang-undang !
Harus diingat bahwa bekerjanya sistem hukum (penegakan hukum) tidak dapat
lepas dari tiga komponen yaitu komponen substansi, komponen struktur, dan
komponen kultur (Friedman, 1968 : 1003-1004). Dua komponen terakhir ini yang
tampaknya masih belum banyak direformasi sehingga penegakan supremasi hukum
masih mengecewakan.
Secara teoritis, supremasi hukum menuntut adanya unsur-unsur yang mencakup
: a) pendekatan sistemik, menjauhi hal-hal yang bersifat ad hoc (fragmentaris);
b) mengutamakan kebenaran dan keadilan; c) senantiasa melakukan promosi dan
perlindungan HAM; d) menjaga keseimbangan moralitas institusional, moralitas
sosial dan moralitas sipil; e) hukum tidak mengabdi pada kekuasaan politik; f)
kepemimpinan nasional di semua lini yang mempunyai komitmen kuat terhadap
supremasi hukum; g) kesadaran hukum yang terpadu antara kesadaran hukum
penguasa yang bersifat top down dan perasaan hukum masyarakat yang bersifat
bottom up; h) proses pembuatan peraturan perundang-undangan (law making
process), proses penegakan hukum (law enforcement) dan proses pembudayaan hukum
(legal awareness process) yang aspiratif baik dalam kaitannya dengan aspirasi
suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan aspirasi internasional; i )
penegakan hukum yang bermuara pada penyelesaian konflik, perpaduan antara
tindakan represif dan tindakan preventif; dan j) perpaduan antara proses
litigasi dan non litigasi (Muladi, 2000 : 6).
2. PEMBERANTASAN KKN
Sudah menjadi tontonan rutin di media elektronik dan menjadi bacaan wajib
di media cetak oleh seluruh anak bangsa yang terjangkau media. Bahwa para
pejabat dan mantan pejabat kita tersandung masalah korupsi dan atau
penyalahgunaan kekuasaan dan keuangan negara. Tetapi anehnya mereka-mereka yang notabenenya para petinggi negara
yang terhormat, panutan rakyat, harapan dan tumpuan rakyat di negeri ini
sedikitpun tidak merasa malu bahkan kadang-kadang malah sebaliknya. Tidak kalah
hebatnya DPR yang merupakan lembaga tertinggi negara justru menjadi sarang
tikus-tikus rakus yang menggerogoti uang negara dengan berbagai alasan yang
dibuat-buat dan dicari pembenarannya. Rakyat yang merasa dirinya didholimi
akhirnya ikut-ikutan dengan caranya masing-masing sesuai dengan strata dan
jabatannya. Itulah realitas kehidupan di negeri ini, negeri yang subur makmur
gemah ripah loh jinawi, namun masih tergolong negara miskin, negara dengan
setumpuk hutang, tetapi pejabatnya kaya raya, boros, hura-hura. Negara yang
mulai pejabat sampai rakyatnya sudah terbelit pada sebuah sistem yang korup.
Penyalahgunaan kekuasaan, penyuapan, pungli, korupsi, manipulasi, kolusi,
nepotisme dan sejenisnya yang biasa disebut KKN sudah bukan hal langkah yang
dapat kita jumpai di mana-mana dan kapan saja. Berikut ini beberapa contoh kejadian-kejadian
yang sudah lazim terjadi di masyarakat bahkan sampai di birokrasi pemerintah :
-Seorang petani sawah jika ingin mendapat gilir air sawahnya lancar dia
harus mau memberi tips kepada Jogoboyo//cuwowo (pamong desa/orang yang ditunjuk
untuk mengatur perairan sawah).
-Seorang pedagang asongan penjual kipas dan minuman ringan di kereta
eksekutifdengan dua atau tiga pak rokok Dji Sam Soe untuk petugas teknisi
kereta agar bersedia mematikan sementara waktu AC gerbong agar dagangannya laku
keras.
-Seorang distributor pupuk bersubsidi menimbun pupuk di gudang ratusan ton
untuk memperkaya diri, sementara para petani harus merugi jutaan rupiah karena
tidak mendapatkan pupuk untuk sawahnya.
-Seorang kepala sekolah negeri melakukan berbagai macam pungutan kepada
siswanya dengan dalih peningkatan kualitas, padahal sudah memperoleh aneka
jenis bantuan pemerintah (BOS, BOM, BKSM, dan lain sebagainya), bahkan sampai
mencekik leher para orang tua murid yang jika diteliti secara seksama
ujung-ujungnya adalah untuk memperkaya diri sendiri dan sangat bertentangan
dengan niatan baik pemerintah yang ingin membebaskan sekurang-kurangnya
meringankan biaya pendidikan bagi masyarakat (tidak salah kalau masyarakat
berkata :”lebih enak ketika jamannya Pak Harto, buku sekolah tidak beli/paket,
sekolah negeri tidak bayar, padahal dahulu tidak ada BOS, BKSM, BOM, dll”).
-Di mana-mana gedung sekolah roboh karena kualitas bangunan tidak sesuai dengan
standart yang ada karena dari hulu sampai hilir telah terjadi
penyunatan-penyunatan.
-Para caleg/cabub/cagub dan calon-calon lain rela mengeluarkan ratusan juta
rupiah untuk menyuap calon pemilihnya, bahkan ada yang dengan menggunakan uang
palsu.
-Anggota dewan mau mengesahkan Anggaran, peraturan dan sebagainya kalau ada
uang gedognya.
-Dan lain sebagainya yang tidak cukup ditulis pada tulisan ini, sejuta cara
penghuni negeri ini melakukan KKN dan sudah pasti kita dapat menjumpai di
setiap tempat di negeri ini di kantor, di pasar, di jalan raya, di sawah,
bahkan di hutan dan di tengah laut sekalipun.
Sebagai bagian dari masyarakat negeri ini yang amat sangat mungkin juga
termasuk salah satu pelaku didalamnya, merasa prihatin dan terpanggil untuk
memberikan sumbangan saran dan pemikiran kepada pemerintah dan siapa saja yang
berkenan untuk bersama-sama meminimalisir terjadinya KKN di negeri ini, agar
negeri kita tercinta ini menjadi negeri yang baldatun toyyibatun warobbun
ghofuurun seperti yang dicita-citakan para pendiri republik ini.
Gambaran diatas memang paradoks dengan kondisi penduduk negeri ini yang
terkenal agamis bahkan merupakan Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,
semua pejabat, calon pejabat, rakyat menggembar-gemborkan pemberantasan KKN
yang katanya warisan dari orde baru namun kenyataan mungkin sekarang lebih
parah dari yang terjadi pada masa orde baru ( contoh kecil , di masa orde baru
tidak ada sekolah negeri yang membayar bahkan buku pelajaran pun
dipinjami/tidak beli ). Sebuah pekerjaan besar yang harus kita selesaikan
bersama dengan pemerintah terutama presidennya yang punya kemauan keras untuk
memberantas KKN di negeri ini.
Ada beberapa hal menurut penulis yang menjadi penyebab kenapa pemberantasan
KKN sulit untuk dilaksanakan, diantaranya :
a.Hukum dan para penegak hukumnya di negeri ini masih dapat dibeli.
b.Hukum Negara dimana saja pasti memiliki kelemahan dan kekurangan ( contoh
orang mencuri, baru dikatakan pencuri kalau ketahuan dan ada saksinya,
seseorang akan aman dari tuduhan korupsi kalau dapat menunjukkan bukti-bukti
pembelanjaan walaupun itu direkayasa ).
c.Banyaknya pelaku pelanggaran yang jika semua harus ditindak pasti penjara
tidak akan muat dan bisa dikatakan pasti kantor-kantor pemerintah akan sepi
ditinggal penghuni masuk bui, sekolah-sekolah akan tanpa kendali karena kepala
sekolah masih diadili, sehingga dengan dalih penanganan diprioritaskan pada
kasus yang besar dahulu padahal itu tidak lain karena penanganan KKN yang masih
setengah hati.
d.segi finansial maupun terjadinya perubahan kearah positif.
e.Perlakuan hukuman yang tidak setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan
sehingga tidak dapat menimbulkan efek jera, baik bagi si pelaku atau orang yang
akan melakukan.
f.Semakin lemahnya hukum adat yang berlaku di masyarakat, kalau dahulu orang
tidak banyak yang memahami hukum tetapi hukum adat dan norma yang berlaku di
masyarakat itu sendiri dapat dijadikan pijakan hukum mereka bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara (contoh ada cerita yang berkembang di masyarakat pelaku
rentenir yang ketika meninggal dunia makamnya tidak muat dan lain sebagainya padahal
itu tidak kejadian sebenarnya melainkan betapa jeleknya di mata masyarakat
seseorang yang melanggar hukum).
g.Pejabat pemerintah baik eksekutif maupun legislatif tidak memberikan contoh
yang baik terhadap pelaksanaan hukum, mereka sendiri yang membuat mereka pula
yang melanggarnya.
h.Hilangnya rasa kasih sayang, rasa senasib seperjuangan, sebangsa dan setanah
air yang dikarenakan rendahnya rasa nasionalisme. Kalau dahulu orang berpikir
apa yang dapat kusumbangkan buat negeri ini, sekarang orang banyak yang
berpikir apa yang aku dapatkan dari negeri ini, bahkan yang lebih parah lagi
orang-orang sekarang merasa paling berjasa paling memikirkan negeri ini padahal
mereka tidak segan-segannya merusak negeri yang direbut dari tangan penjajah
dengan cucuran keringat, air mata dan darah dengan mengorbankan harta benda dan
nyawa.
i.Rakus, gila dunia dan lupa akhirat, sehingga menghalalkan segala cara hal ini
disebabkan rendahnya kadar keimanan seseorang. Tidak sedikit dari mereka
mempunyai semboyan ”Wal Kedual , mbuh Watu mbuh Ungkal, mbuh Keloso mbuh
Bantal, mbuh Sepatu mbuh Sandal, mbuh Celono mbuh Suwal, mbuh Ulo mbuh Kadal,
mbuh Beton mbuh Aspal, mbuh Perahu mbuh Kapal, mbuh Nuklir mbuh Rudal, mbuh
Haram mbuh halal, pokok kontal yo diuntal”. Jika kita mau jujur rakus dan gila
dunia inilah yang merupakan sumber terjadinya segala macam penyimpangan dan
pelanggaran yang pada akhirnya menjadi sumber malapetaka di muka bumi ini.
j.Hukum halal dan haram semakin dibikin rancau dan tidak jelas. Sudah
jelas-jelas menyuap dibilangnya hadiah; sudah jelas-jelas korupsi dikatakan
laba proyek; jelas-jelas tidak tahu dari mana asalnya uang, ulama’ pun mau
menerimanya.
k.Urusan pemberantasan KKN masih hanya dibebankan pada Negara, kesadaran
masyarakat untuk ikut serta dalam upaya menghilangkan KKN setidaknya mengurangi
belum nampak kelihatan bahkan kecenderungan menyepakati.
Ada beberapa alternatif yang mungkin dapat diambil sebagai solusi disamping
cara-cara yang sudah dilakukan pemerintah selama ini agar negeri ini terbebas
atau sekurang-kurangnya mengurangi terjadinya pelanggaran KKN, adapun cara yang
dapat ditempuh diataranya :
a. Melalui Pendekatan Kekuasaan.
b.Mencanangkan dan membuat tahun gerakan sadar nasional atau tobat nasional
dari KKN atau sejenisnya yang melibatkan seluruh komponen bangsa.
c.Membuat gerakan taubat nasional, hal ini dilandasi oleh :
-Sadar atau tidak, sedikit atau banyak kita seluruh bangsa ini pernah melakukan
KKN baik langsung maupun tidak langsung/menikmati hasil KKN yang dilakukan oleh
orang lain.
-Sadar atau tidak, kita seluruh bangsa ini pernah tidak suka/membenci pada
orang-orang yang telah berbuat KKN sehingga seperti Hadits Rasulullah yang
artinya lebih kurang : “Tidak akan mati seseorang sebelum mengikuti perilaku
orang-orang yang dibenci”.
-Jika kondisi KKN di negeri ini yang sulit di beratas merupakan Adzab Allah,
maka salah satu jalan adalah bertaubat kepada-Nya.
3. MENGADILI SOEHARTO DAN KRONINYA
Pengusutan anak dan kroni Suharto
4.AMANDEMAN KONSTITUSI
Tujuan amandemen UUD 1945 menurut Husnie, adalah pertama, untuk
menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih mantap
dalam mencapai tujuan nasional serta menyempurnakan aturan dasar mengenai
jaminan dan pelaksanaan kekuatan rakyat, kedua, memperluas partisipasi rakyat agar
sesuai dengan perkembangan paham demokrasi, ketiga menyempurnakan aturan dasar
mengenai jaminan dan perlindungan hak agar sesuai dengan perkembangan HAM dan
peradaban umat manusia yang menjadi syarat negara hukum, keempat menyempurnakan
aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern melalui
pembagian kekuasan secara tegas sistem check and balances yang lebih ketat dan
transparan dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi
perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan jaman, kelima menyempurnakan aturan
dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara memwujudkan
kesejahteraan sosial mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika dan moral
serta solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara
kesejahteraan, keenam, melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaraan negara
yang sangat penting bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan
demokrasi, dan ketujuh, menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan
bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi kebutuhan dan
kepentingan bangsa dan negara Indonesia ini sekaligus mengakomodasi
kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang. MPR melalui alat
kelengkapannya yaitu Badan Pekerja Majelis menurut Husnie, telah berhasil
melakukan empat kali perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan
pertama diputuskan pada sidang Umum MPR 1999 yang terdiri dari sembilan pasal
yaitu pasal 5, 7, 9,13, 14, 17, 20 dan 21 yang mengatur tentang kekuasaan
pemerintahan negara dan pembatasan masa jabatan presiden serta pemberdayaan
lembaga legeslatif yaitu DPR.
Tiga hal yang melandasi perubahan UUD 45 menurut Akbar adalah pertama, para
founding fathers menyadari bahwa UUD 45 merupakan konstitusi kilat. “Bung Karno
dan Bung Hatta menyadari suatu hari generasi penerus akan menyempurnakan UUD
45,” kata Akbar.
Kedua, pada prakteknya UUD 45 dijadikan alat penguasa untuk melanggengkan
pemerintahan yang pada akhirnya cenderung sentralistik. “Pemerintah menggunakan
untuk memperkuat kekuasaan kalau tidak mau dibilang otoritarian,” lanjutnya.
Ketiga, tuntutan yang kuat dari rakyat kebanyakan yang pada akhirnya
sepakat untuk melakukan amandemen konstitusi.
Meski telah empat kali diamandemen, Akbar menegaskan bahwa yang berubah
hanyalah batang tubuh UUD 45, bukan Pembukaan UUD 45. “Pembukaan tidak boleh
diubah karena disana termaktub pernyataan bentuk, ideologi dan tujuan berbangsa
bernegara,” tegasnya. Menurut Akbar, Pembukaan UUD 45 adalah fundamental karena
memuat prinsip dasar negara yang telah disepakati bersama.
1.Hak mengeluarkan pendapat
2.Hak Angket : hak untuk menyelidiki kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah
3.Hak Interpelasi : hak untuk meminta penjelasan pemerintah terkait dengan
kebijakan yang dikeluarkan
Selain ketiga hak di atas, anggota dewan juga memiliki beberapa hak seperti
hak budget, hak imunitas, hak protokoler, hak legacy, dan hak-hak lainnya.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana yang dimaksud ayat (2).
DPR mempunyai hak:
a.meminta keterangan kepada Presiden;
b.mengadakan penyelidikan;
c.mengadakan perubahan alas rancangan undang‑undang;
d.mengajukan pernyataan pendapat;
e.mengajukan rancangan undang‑undang:
f.mengajukan/menganjurkan seseorang untuk jabatan tertentu jika ditentukan
oleh suatu peraturan perundang‑undangan;
g.menentukan anggaran DPR.
Selain hak-hak DPR sebagaimana yang dimaksud ayat (3), yang pada
hakekatnyamerupakan hak-hak anggota, Anggota DPR juga mempunyai hak:
a.mengajukan pertanyaan;
b.protokoler;
c.keuangan/administrasi.
Hak Inisiatif adalah hak untuk mengajukan usul Rancangan Undang-Undang atau
Peraturan daerah (Raperda), merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh anggota
DPR/D untuk melaksanakan fungsinya di bidang legislasi.
Hak amandemen, hampir sama dengan hak inisiatif, adalah hak untuk
mengajukan Perubahan Undang-Undang atau Peraturan daerah (Raperda).
Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan
pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang
terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional disertai dengan
rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak
interpelasi dan hak angket atau terhadap dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
5.PENCABUTAN DWIFUNGSI TNI/POLRI
Ia adalah perwujudan dari sebuah sistem penghisapan, dominasi, hegemoni,
dan represi dari militer terhadap rakyat Indonesia. Dwifungsi TNI/Polri
sebenarnya membuat sebuah negara di dalam negara, dengan mendirikan struktur
Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa. Struktur ini membuat militer dapat mengontrol
kegiatan politik rakyat. Sebagai contoh, aksi buruh dipastikan akan
diintimidasi dengan aparat kodim terdekat. Aksi petani pastilah akan diteror
oleh koramil dan babinsa di wilayah tersebut. Begitu juga dengan kaum miskin
kota serta elemen-elemen rakyat lainnya.
Bahkan dalam UU Darurat/UU PKB terlihat jelas sebenarnya peranan dari
struktur ini. Struktur ini akan menjalankan fungsi-fungsi negara selama keadaan
darurat mulai dari fungsi hukum sampai fungsi administrasi masyarakat. Dan
dalam kenyataannya sehari-hari, tanpa harus menyatakan keadaan darurat, militer
sudah mengatur segala fungsi-fungsi negara. Struktur birokrasi pemerintahan
sampai struktur organisasi masyarakat RT/RW sudah disusupi oleh perwira-perwira
militer. Mulai dari Mendagri, Jaksa Agung, Gubernur, Bupati, Lurah, Camat,
sampai ketua RT/RW bahkan juga direktur-direktur BUMN. Bahkan masuknya militer
ke kekuasaan legislatif (DPRD/DPR/MPR) sebenarnya tidak terlepas dari pola
mereka masuk ke struktur birokrasi tadi. Untuk mengontrol rakyat Indonesia.
Kontrol inilah yang kemudian menghambat proses demokratisasi. Rakyat menjadi
hidup didalam satu nuansa represi dan intimidasi.
Dimensi pertama dari pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri adalah pembubaran
struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa. Dimensi ini bertujuan untuk
membebaskan rakyat dari satu represi dan intimidasi yang kemudian akan memacu
partisipasi dan kesadaran demokratik rakyat. Argumentasi yang diberikan oleh
militer bahwa strukturt ini dibutuhkan untuk menjaga keamanan teritori jelas lemah
karena secara riil pembentukkan struktur ini justru untuk menyempurnakan
alat-alat kekuasaan mereka. Apa yang harus dilakukan untuk mengamankan teritori
negara adalah pembentukan milisi-milisi bela negara yang berbasis pada
pengorganisasian perlawanan massa-rakyat. Apabila TNI tetap bersikukuh pada
pendiriannya dengan tetap mempertahankan Dwi Fungsi TNI, maka keniscayaan
pendelegitimasian TNI adalah hukum sejarah. Akan tetapi, bila TNI menyerahkan
fungsi dan peran sosial politiknya kepada sipil sepenuh-penuhnya, dan berfungsi
sebagai alat pertahanan semata, maka pembentukan milisi bela negara adalah
jalan yang terbaik
Dimensi Kedua, Pembersihan lembaga-lembaga ekstrayudisial seperti BIA,
BAKIN atau BAIS dsb. Lembaga yang berada di luar jangkauan kekuasaan kehakiman
dan peradilan. Lembaga tersebut memiliki wewenang yang sangat luar biasa. Ia
dapat menangkap seseorang tanpa ada kejelasan hukum. Bahkan tindakan-tindakan
lembaga tersebut sering kali berbau kriminal seperti penculikan dan pembunuhan,
tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Lembaga ini berfungsi melakukan teror
dan penginterogasian terhadap orang-orang yang memperjuangkan demokrasi dan
hak-hak rakyat. Oleh karenanya, pembubaran lembaga-lembaga ekstrajudisial
menjadi dimensi kedua dari pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri. Hal ini penting
untuk mengembalikan prinsip trias politika yang tegas dan penegakkan hukum yang
konsisten.
Dimensi Ketiga adalah pembersihan militer dari politik. Harus dipahami
bahawa TNI/Polri adalah fungsi keamanan (TNI) dan ketertiban (polisi) sehingga
ia tidak perlu untuk masuk dalam percaturan politik. Pentingnya Militer
dibersihkan dari lapangan politik adalah untuk tetap menjaga netralitas militer
agar tidak kemudian berpihak pada kekuatan politik lain selain kekuatan politik
rakyat. Posisi militer yang menjadi tiang penyangga pada masa Rejim Orde Baru
yang berlumuran darah tampaknya cukup menjadi contoh tentang pentingnya militer
keluar dari gelanggang politik.
Dimensi Keeempat adalah penghentian dan penyitaan aset-aset ekonomi
militer. Seperti dijelaskan diatas, penguasaan militer atas aset-aset ekonomi
(dalam bahasa kasarnya :militer berbisnis) akhirnya mendorong miter untuk masuk
dalam kekuasaan karena penguasaan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan.
Penyitaan aset-aset ekonomi ini kemudian diserahkan pada negara untuk dikelola.
Penyitaan dan penghentian praktek bisnis militer ini tentunya harus dengan
prasyarat bahwa ada jaminan kesejahteraan minimum bagi para prajurit (yang
kemudian menahan keinginan militer untuk berbisnis) dan anggaran militer yang
cukup oleh negara.
Dimensi terakhir adalah Penegakan hukum dan HAM bagi para perwira militer
pelanggarnya. Seperti diungkapkan dimuka bahwa demokrasi memiliki aturan-aturan
prinsipil dalam pembangunannya yang salah satunya adalah penegakkan Hak Asasi
Manusia, maka penegakkan hukum merupakan unsur penting bagi pembangunan
demokrasi. Tidak dapat disangkal lagi bahwa militer Indonesia memiliki peran
yang cukup besar atas penindasan yang diterima oleh rakyat Indonesia selama
puluhan tahun. Pertanggungjawaban secara hukum, politik dan sejarah adalah
satu-satunya jalan bagi militer untuk dapat diterima kembali di masyarakat.
Prinsip dari pencabutan Dwi fungsi TNI/Polri adalah menempatkan posisi
militer sebagai militer yang profesional dan sekaligus sebagai militer rakyat
yang artinya militer yang patuh pada prinsip-prinsip demokarsi kerakyatan.
6. PEMBERIAN OTONOMI DAERAH SELUAS-LUASNYA
Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah
membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani
urusan daerah. Dengan demikian pusat berkesempatan mempelajari, memahami,
merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada
saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada
perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum dan mendasar) nasional yang
bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi daerah akan mengalami
proses pemberdayaan yang optimal. Kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah
daerah akan terpacu, sehingga kemampuannya dalam mengatasi berbagai masalah
yang terjadi di daerah akan semakin kuat.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah sebagai berikut:
1.Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
2.Pengembangan kehidupan demokrasi.
3.Keadilan.
4.Pemerataan.
5.Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar
daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
6.Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
7.Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.