Thursday, 2 November 2017

Contoh Cerpen (Cerita Pendek)

CONTOH CERPEN (CERITA PENDEK)

Haii Bertemu lagi dengan admin ... bagaimana kabar semua sehat ??? hahaha pastinya dong admin doakan juga para pembaca blog ini di beri kesehatan dan kelancaran rezeki .. Aamiin . Loh kok malah tiba tiba jadi kajian ? gapapa lah ya sekali kali ... hehe .

Nah kali ini mimin akan membahas tentang cerpen , yups cerita pendek . Memang cerita yang satu ini banyak di sukai oleh semua golongan baik tua maupun muda . Ya karena sifat dari cerita ini yg ringkas , mudah dinikmati , dan tidak membikin jenuh karena pendek .

Ehmm .. oke kali ini mimin akan memberikan kalian contoh salah satu cerpen yang pernah mimin baca di internet yaitu judulnya botol .

Haaa ???
Botol ?
kok botol sih ?
Penasaran ???

Langsung saja kita baca ceritanya berikut ini :

Botol

Botol
Hamparan permadani biru tak terlihat sebagaimana mestinya. Pagi, sinar yang menembusnya malu-malu bersandar pada hari yang akan sama seperti belakangan ini. Yang semakin tak ubahnya ia membungkus bumi kota ini. Anginnya yang menusuk tulang, merengkuh. Detik yang sama menyokong tubuh seorang gadis cilik dan terduduk di bangku sekolah menengah pertama.
“Hai pemulung, hebat sekali kau masih bisa sekolah, darimana kamu dapat uang, merampok ya?” tertawa sebagian teman-temannya.

Air matanya seakan tak bisa kompromi untuk keluar dari pusat mengalir menuju titik terbawah. Ingin sekali ia membalasnya dengan sebuah tinjuan keras bak pendekar menekuk semua musuh-musuhnya. Hati yang sabar membasuh kemarahan dan kekesalan dalam diri. Ia menjawab dengan tegas dan hati-hati.
“Aku memang orang miskin, tidak punya apa-apa, tapi ingat, suatu saat nanti aku akan membuktikan kalau aku bisa sukses dengan uang hasil kerja kerasku selama ini, sedangkan kalian, apa tidak malu masih saja mengandalkan orangtua!”
“Wah, nyalimu besar juga berani berkata begitu. Baiklah, aku akan melihat sejauh mana kesanggupan dari orang pinggiran. Kalau kau tidak berhasil, bersiaplah dengan serbuan kata-kata pahit akan menghujani dirimu.”

“Sebentar lagi minumannya habis.” gadis berkaus lusuh itu membatin. Matanya tak sedikitpun berpaling dari pemuda berjaket denim yang memegang botol Aqua. Isinya tinggal separuh. Gadis itu menggosok-gosokkan kedua kakinya yang sedari tadi menginjak tanah basah alun-alun kota Yogyakarta. Sandal bukanlah hal yang ia pikirkan. Hanya dingin, namun itu sudah biasa pula baginya. Pikiran itu hanya hinggap sejenak sebelum musnah dari benaknya.
Sebenarnya ia ingin segera pulang, tapi tanggung. Karungnya tidak penuh malam ini, padahal karung penuh saja cuma dihargai tiga ribu rupiah. Mau tak mau ia harus mendapatkan botol bekas itu, meskipun hanya satu. Seandainya saat itu malam Minggu, ia bisa mengumpulkan tiga kali lipat lebih banyak. Sayang malam Minggu hanya ada tujuh hari sekali. Gadis itu menghela napas, ekor matanya kembali mencuri pandang.

Isinya tinggal setengah.
Si gadis menguap. Kantuk sedari tadi menderanya. Ia mati-matian membelalakkan mata. Ia tak tahu sekarang jam berapa, mungkin lebih malam dari yang disangkanya. Jam 11? Jam 12? Ah, mana kenal ia dengan waktu. Satu-satunya penunjuk waktu di rumahnya adalah arloji murahan kesayangan bosnya, hasil nemu bulan lalu, yang selalu ia bawa kemana-mana. Jangan harap ia bisa meminjam benda tersebut, kecuali kalau memang ingin diludahi oleh bosnya.
Kalau ia tidur, meskipun cuma tidur-tidur sebentar, ia takut hasil pulungannya diambil orang. Di dunia yang penuh kecurangan ini, pemulung pun harus menyesuaikan diri. Ikut-ikutan curang. Adu mulut dengan pemulung lain sudah menjadi santapan sehari-harinya. Kadang malah dia yang mengambil hasil pulungan orang lain.

Kosongnya jalanan membuat ia sadar kalau saat itu memang sudah larut malam.
Ya, dua anak manusia duduk di pinggir alun-alun Yogyakarta yang merupakan pusat kota ini. Dua-duanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing, meskipun menyadari kehadiran satu sama lain. Dua-duanya tampak tak ingin beranjak dari tempat itu. Dua-duanya saling menunggu.
Detik demi detik, menit demi menit habis dalam lamunan semata. Sampai akhirnya si pemuda menyerah. Ia melemparkan botol plastik yang masih terisi setengah itu, lalu berbaring beralaskan lantai dingin, berselimut langit hitam.

Gadis itu, dengan senyum lega dan gembira di wajah, memanggul karung di sampingnya, kemudian berlari mengambil botol bekas yang dilemparkan si pemuda. Ia melangkah pulang, meninggalkan pemuda berjaket denim yang diam-diam mengawasi punggungnya di bawah sinar bulan.
Pemuda itu, bernama Rangga. Usianya baru enam belas tahun dan terlahir sebagai anak tunggal dari keluarga yang sangat berada. Ia bosan dengan kehidupannya dari pagi hingga malam, dari tertidur hingga terbangun kembali, tak ada yang menarik baginya. Kehidupannya hanya itu dan itu saja, terlalu monoton.
Ia lupa. Ia lupa kalau tugas di sekolah untuk mewawancarai seseorang yang dianggap pahlawan, belum dikerjakannya. “Mana tugas dikumpul besok lagi.” desahnya, ia benar-benar lupa. Entah mendapat panggilan darimana, ia memutuskan untuk keluar rumah. Motor vixionnya ia pacukan dengan kecepatan sedang. Ia sangat menikmati malam ini, dingin, aroma tanah bekas hujan masih tercium baunya, amat segar.
Saat melewati Alun-Alun Kota Jogja, ia memutuskan untuk membeli semangkuk bakso. Setelah makan, ia duduk di pinggiran alun-alun. Alun-Alun sudah sepi, mungkin karena hari itu hari Rabu, bukan malam Minggu atau Minggu. Ia hanya mendapati beberapa penjual bakso di sana, itu pun sudah beres-beres.

Ia melamun. Ia melamun, siapakah yang akan ia wawancarai malam-malam begini, sendirian.
Tidak benar-benar sendirian.
Ia mendapati seorang gadis berbaju lusuh duduk agak jauh darinya. Di samping gadis itu tergeletak sebuah karung tipis berisi gelas bekas. Pasti pemulung.
Apa rasanya jadi pemulung? Tiba-tiba pertanyaan itu melintas di benak Rangga. Kenapa gadis itu belum pulang? Apa saja yang dikerjakannya seharian? Siapa orangtuanya? Apa pekerjaan mereka? Diam-diam ia memandangi gadis itu. Dilihatnya gadis itu menguap. Kenapa ia belum pulang ke rumah?

Rangga berdecak, melemparkan gelas minumannya sembarangan, lalu berbaring sambil melihat bintang-bintang. Dari sudut mata ia melihat gadis pemulung itu berlari mengejar botol bekasnya, lalu memasukkannya ke karung yang dipanggulnya. Rangga mengernyit, berfikir. Ternyata, bocah itu menunggunya! Kenapa ia tidak bilang kalau mau memulung gelas itu? Kan ia bisa memberikannya dari tadi.

Gadis aneh, pikirnya dalam hati seraya memandangi kepergian anak itu. Begitu berartikah sebuah botol bekas? Sebuah saja tidak akan ada harganya, kan?
Pemuda itu mengendikkan bahu, tak ada salahnya ia memanggil gadis tersebut.

“Adik!”

Terdengar suara. Pemulung cilik itu mendongak. Pemuda itu memanggilnya. Dengan heran ia mendekat. Pemuda itu memberikan sedotan dan sebotol Aqua. Masih penuh.
“Minumlah, kamu pasti haus. Botolnya untuk kamu.”
“Tidak usah, Mas…” ia menolak, enggan.
“Ayolah, kakak ikhlas kok.”
Ragu-ragu, Nilam mengambilnya.
“Makasih, Mas.”
“Sudah malam Dik, kok belum balik ke rumah?”
“Belum Mas, masih mau nyari botol.”
Pemuda itu manggut-manggut.
“Nama kamu siapa? Nama kakak Rangga.”
“Nilam.”
Setelah itu mengalirlah percakapan antara keduanya.
“Kamu kok bisa memulung, apa motivasi kamu?” tanya pemuda itu penasaran.
“Untuk hidup dan sekolah, mas.”
“Kok kamu milih mulung, enggak yang lain aja?”
“Karena, pemulung itu,” ia mengambil nafas, mengeluarkannya, “sesuatu pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.”
“Kamu nggak malu sama temen kamu?”
Gadis itu berusaha tersenyum, “Kenapa harus malu Mas? Itu pekerjaan halal kok, mulia.” sembari meminum air aqua dari pemuda ia melanjutkan, “Pemulung sangat berjasa bagi semua orang. Pemulung mampu mengorbankan waktu dan tenaganya hanya untuk memungut sampah, botol-botol yang sudah tidak dianggap lagi oleh siempunya. Padahal, jika plastik-plastik dibiarkan begitu saja bisa mengakibatkan polusi dan kerugian yang sangat besar.” ia tersenyum, puas menceritakan pekerjaannya kepada pemuda di depannya. “Yaah, walaupun hasilnya sangat tidak seberapa.” ia menambahkan.
Rangga berfikir, gadis ini terlalu pintar utnuk dikatakan sebagai pemulung.
“Nah, kan tadi kamu bilang kalau pemulung itu berjasa buat orang lain. Lalu siapa orang yang paling berjasa dalam hidup Adik ini? Mungkin orangtua atau keluarga Adik gitu?” desakku.
Ia, pemulung yang aku ‘wawancarai’ ini, sempat memandangku lama.
“Aku ndak punya keluarga, Mas. Ditemuin orang sini aja. Dirawat giliran, terus diajarin mulung gini.” celetuknya.
“Nggak cuma aku, lihat tuh mereka,” dia menunjuk beberapa awak menggendong karung di Jalan Trikora, “Nasibnya yo podo wae sama aku. Dari kecil diajarin mulung, terus setor. Setoran kurang, ya ndak makan. Nek tanya siapa yang berjasa buat aku yo… sopo. Hidup ya cuma cari sampah. Enaknya dimana hehehe.”
Aku terdiam. Hening. Dia kembali melihat botol yang ada di dalam karung. Dia memandangi botol aqua yang aku lempar tadi. Sembari menatap langit tampak menerawang, “Mungkin, nek buatku, yang paling berjasa ya kalian yang buang sampah. Apalagi botolan.” celetuknya.
Aku nggak salah dengar?
“Kenapa Dik?” tanyaku, mulai penasaran.
“Nek ndak ada yang buang sampah, aku ndak dapat setoran. Nek ndak dapat setoran ya ndak makan. Ndak makan ya mati hehe. Jadi makasih lho Mas, aku jadi bisa makan buat bertahan.”




Share this

1 Response to "Contoh Cerpen (Cerita Pendek)"

  1. kak cerpen ini kalo boleh tau penulisnya siapa, saya mohon ijin untuk mengutipnya kembali

    ReplyDelete