CONTOH CERPEN (CERITA PENDEK)
Haii Bertemu lagi dengan admin ... bagaimana kabar semua sehat ??? hahaha pastinya dong admin doakan juga para pembaca blog ini di beri kesehatan dan kelancaran rezeki .. Aamiin . Loh kok malah tiba tiba jadi kajian ? gapapa lah ya sekali kali ... hehe .
Nah kali ini mimin akan membahas tentang cerpen , yups cerita pendek . Memang cerita yang satu ini banyak di sukai oleh semua golongan baik tua maupun muda . Ya karena sifat dari cerita ini yg ringkas , mudah dinikmati , dan tidak membikin jenuh karena pendek .
Ehmm .. oke kali ini mimin akan memberikan kalian contoh salah satu cerpen yang pernah mimin baca di internet yaitu judulnya botol .
Haaa ???
Botol ?
kok botol sih ?
Penasaran ???
Langsung saja kita baca ceritanya berikut ini :
Botol
Hamparan
permadani biru tak terlihat sebagaimana mestinya. Pagi, sinar yang menembusnya
malu-malu bersandar pada hari yang akan sama seperti belakangan ini. Yang
semakin tak ubahnya ia membungkus bumi kota ini. Anginnya yang menusuk tulang,
merengkuh. Detik yang sama menyokong tubuh seorang gadis cilik dan terduduk di
bangku sekolah menengah pertama.
“Hai
pemulung, hebat sekali kau masih bisa sekolah, darimana kamu dapat uang,
merampok ya?” tertawa sebagian teman-temannya.
Air matanya seakan tak bisa kompromi untuk keluar dari pusat mengalir menuju
titik terbawah. Ingin sekali ia membalasnya dengan sebuah tinjuan keras bak
pendekar menekuk semua musuh-musuhnya. Hati yang sabar membasuh kemarahan dan
kekesalan dalam diri. Ia menjawab dengan tegas dan hati-hati.
“Aku memang orang miskin, tidak punya apa-apa, tapi ingat, suatu saat nanti aku
akan membuktikan kalau aku bisa sukses dengan uang hasil kerja kerasku selama
ini, sedangkan kalian, apa tidak malu masih saja mengandalkan orangtua!”
“Wah, nyalimu besar juga berani berkata begitu. Baiklah, aku akan melihat
sejauh mana kesanggupan dari orang pinggiran. Kalau kau tidak berhasil,
bersiaplah dengan serbuan kata-kata pahit akan menghujani dirimu.”
—
“Sebentar
lagi minumannya habis.” gadis berkaus lusuh itu membatin. Matanya tak
sedikitpun berpaling dari pemuda berjaket denim yang memegang botol Aqua.
Isinya tinggal separuh. Gadis itu menggosok-gosokkan kedua kakinya yang sedari
tadi menginjak tanah basah alun-alun kota Yogyakarta. Sandal bukanlah hal yang
ia pikirkan. Hanya dingin, namun itu sudah biasa pula baginya. Pikiran itu
hanya hinggap sejenak sebelum musnah dari benaknya.
Sebenarnya
ia ingin segera pulang, tapi tanggung. Karungnya tidak penuh malam ini, padahal
karung penuh saja cuma dihargai tiga ribu rupiah. Mau tak mau ia harus
mendapatkan botol bekas itu, meskipun hanya satu. Seandainya saat itu malam
Minggu, ia bisa mengumpulkan tiga kali lipat lebih banyak. Sayang malam Minggu
hanya ada tujuh hari sekali. Gadis itu menghela napas, ekor matanya kembali
mencuri pandang.
Isinya tinggal setengah.
Si
gadis menguap. Kantuk sedari tadi menderanya. Ia mati-matian membelalakkan
mata. Ia tak tahu sekarang jam berapa, mungkin lebih malam dari yang
disangkanya. Jam 11? Jam 12? Ah, mana kenal ia dengan waktu. Satu-satunya
penunjuk waktu di rumahnya adalah arloji murahan kesayangan bosnya, hasil nemu
bulan lalu, yang selalu ia bawa kemana-mana. Jangan harap ia bisa meminjam
benda tersebut, kecuali kalau memang ingin diludahi oleh bosnya.
Kalau
ia tidur, meskipun cuma tidur-tidur sebentar, ia takut hasil pulungannya
diambil orang. Di dunia yang penuh kecurangan ini, pemulung pun harus
menyesuaikan diri. Ikut-ikutan curang. Adu mulut dengan pemulung lain sudah
menjadi santapan sehari-harinya. Kadang malah dia yang mengambil hasil pulungan
orang lain.
Kosongnya jalanan membuat ia sadar kalau saat itu memang sudah larut malam.
Ya,
dua anak manusia duduk di pinggir alun-alun Yogyakarta yang merupakan pusat
kota ini. Dua-duanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing, meskipun
menyadari kehadiran satu sama lain. Dua-duanya tampak tak ingin beranjak dari
tempat itu. Dua-duanya saling menunggu.
Detik
demi detik, menit demi menit habis dalam lamunan semata. Sampai akhirnya si
pemuda menyerah. Ia melemparkan botol plastik yang masih terisi setengah itu,
lalu berbaring beralaskan lantai dingin, berselimut langit hitam.
Gadis itu, dengan senyum lega dan gembira di wajah, memanggul karung di
sampingnya, kemudian berlari mengambil botol bekas yang dilemparkan si pemuda.
Ia melangkah pulang, meninggalkan pemuda berjaket denim yang diam-diam
mengawasi punggungnya di bawah sinar bulan.
—
Pemuda
itu, bernama Rangga. Usianya baru enam belas tahun dan terlahir sebagai anak
tunggal dari keluarga yang sangat berada. Ia bosan dengan kehidupannya dari
pagi hingga malam, dari tertidur hingga terbangun kembali, tak ada yang menarik
baginya. Kehidupannya hanya itu dan itu saja, terlalu monoton.
Ia
lupa. Ia lupa kalau tugas di sekolah untuk mewawancarai seseorang yang dianggap
pahlawan, belum dikerjakannya. “Mana tugas dikumpul besok lagi.” desahnya, ia
benar-benar lupa. Entah mendapat panggilan darimana, ia memutuskan untuk keluar
rumah. Motor vixionnya ia pacukan dengan kecepatan sedang. Ia sangat menikmati
malam ini, dingin, aroma tanah bekas hujan masih tercium baunya, amat segar.
Saat
melewati Alun-Alun Kota Jogja, ia memutuskan untuk membeli semangkuk bakso.
Setelah makan, ia duduk di pinggiran alun-alun. Alun-Alun sudah sepi, mungkin
karena hari itu hari Rabu, bukan malam Minggu atau Minggu. Ia hanya mendapati
beberapa penjual bakso di sana, itu pun sudah beres-beres.
Ia melamun. Ia melamun, siapakah yang akan ia wawancarai malam-malam begini,
sendirian.
Tidak benar-benar sendirian.
Ia mendapati seorang gadis berbaju lusuh duduk agak jauh darinya. Di samping
gadis itu tergeletak sebuah karung tipis berisi gelas bekas. Pasti pemulung.
Apa rasanya jadi pemulung? Tiba-tiba pertanyaan itu melintas di benak Rangga.
Kenapa gadis itu belum pulang? Apa saja yang dikerjakannya seharian? Siapa
orangtuanya? Apa pekerjaan mereka? Diam-diam ia memandangi gadis itu.
Dilihatnya gadis itu menguap. Kenapa ia belum pulang ke rumah?
Rangga
berdecak, melemparkan gelas minumannya sembarangan, lalu berbaring sambil
melihat bintang-bintang. Dari sudut mata ia melihat gadis pemulung itu berlari
mengejar botol bekasnya, lalu memasukkannya ke karung yang dipanggulnya. Rangga
mengernyit, berfikir. Ternyata, bocah itu menunggunya! Kenapa ia tidak bilang
kalau mau memulung gelas itu? Kan ia bisa memberikannya dari tadi.
Gadis aneh, pikirnya dalam hati seraya memandangi kepergian anak itu. Begitu
berartikah sebuah botol bekas? Sebuah saja tidak akan ada harganya, kan?
Pemuda itu mengendikkan bahu, tak ada salahnya ia memanggil gadis tersebut.
—
“Adik!”
Terdengar suara. Pemulung cilik itu mendongak. Pemuda itu memanggilnya. Dengan
heran ia mendekat. Pemuda itu memberikan sedotan dan sebotol Aqua. Masih penuh.
“Minumlah, kamu pasti haus. Botolnya untuk kamu.”
“Tidak usah, Mas…” ia menolak, enggan.
“Ayolah, kakak ikhlas kok.”
Ragu-ragu, Nilam mengambilnya.
“Makasih, Mas.”
“Sudah malam Dik, kok belum balik ke rumah?”
“Belum Mas, masih mau nyari botol.”
Pemuda itu manggut-manggut.
“Nama kamu siapa? Nama kakak Rangga.”
“Nilam.”
Setelah itu mengalirlah percakapan antara keduanya.
“Kamu kok bisa memulung, apa motivasi kamu?” tanya pemuda itu penasaran.
“Untuk hidup dan sekolah, mas.”
“Kok kamu milih mulung, enggak yang lain aja?”
“Karena, pemulung itu,” ia mengambil nafas, mengeluarkannya, “sesuatu pekerjaan
yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.”
“Kamu nggak malu sama temen kamu?”
Gadis itu berusaha tersenyum, “Kenapa harus malu Mas? Itu pekerjaan halal kok,
mulia.” sembari meminum air aqua dari pemuda ia melanjutkan, “Pemulung sangat
berjasa bagi semua orang. Pemulung mampu mengorbankan waktu dan tenaganya hanya
untuk memungut sampah, botol-botol yang sudah tidak dianggap lagi oleh
siempunya. Padahal, jika plastik-plastik dibiarkan begitu saja bisa
mengakibatkan polusi dan kerugian yang sangat besar.” ia tersenyum, puas
menceritakan pekerjaannya kepada pemuda di depannya. “Yaah, walaupun hasilnya
sangat tidak seberapa.” ia menambahkan.
Rangga berfikir, gadis ini terlalu pintar utnuk dikatakan sebagai pemulung.
“Nah, kan tadi kamu bilang kalau pemulung itu berjasa buat orang lain. Lalu
siapa orang yang paling berjasa dalam hidup Adik ini? Mungkin orangtua atau
keluarga Adik gitu?” desakku.
Ia, pemulung yang aku ‘wawancarai’ ini, sempat memandangku lama.
“Aku ndak punya keluarga, Mas. Ditemuin orang sini aja. Dirawat giliran, terus
diajarin mulung gini.” celetuknya.
“Nggak cuma aku, lihat tuh mereka,” dia menunjuk beberapa awak menggendong
karung di Jalan Trikora, “Nasibnya yo podo wae sama aku. Dari kecil diajarin
mulung, terus setor. Setoran kurang, ya ndak makan. Nek tanya siapa yang
berjasa buat aku yo… sopo. Hidup ya cuma cari sampah. Enaknya dimana hehehe.”
Aku terdiam. Hening. Dia kembali melihat botol yang ada di dalam karung. Dia
memandangi botol aqua yang aku lempar tadi. Sembari menatap langit tampak
menerawang, “Mungkin, nek buatku, yang paling berjasa ya kalian yang buang
sampah. Apalagi botolan.” celetuknya.
Aku nggak salah dengar?
“Kenapa Dik?” tanyaku, mulai penasaran.
“Nek ndak ada yang buang sampah, aku ndak dapat setoran. Nek ndak dapat setoran
ya ndak makan. Ndak makan ya mati hehe. Jadi makasih lho Mas, aku jadi bisa
makan buat bertahan.”
kak cerpen ini kalo boleh tau penulisnya siapa, saya mohon ijin untuk mengutipnya kembali
ReplyDelete